Basis Genetik Kerontokan Rambut
Penemuan penyebab kedua paling umum dari bentuk kerontokan rambut sesudah teladan kebotakan pria.
Pada tahun 1996, rambut Ibu Christiano tiba-tiba mulai rontok yang mengakibatkan kulit kepalanya terlihat ibarat tambalan-tambalan kebotakan. Kondisi tersebut didiagnosa sebagai alopecia areata yang menyerang sekitar 2 persen populasi keseluruhan termasuk lebih dari 5,3 juta orang di Amerika Serikat.
Karena ia bergumul dengan penyakit tersebut, Ibu Christiano yang tergabung dalam pecahan Dermatologi serta Pengembangan dan Genetika di Pusat Medis Universitas Columbia tetapkan untuk mempelajari kerontokan rambut.
"Saya melihat literaturnya dan menyadari betapa sedikit yang diketahui wacana gen yang mengontrol pertumbuhan rambut," katanya. "Saya tak percaya bahwa penyakit saya ini sangat tidak diketahui."
Awal tahun ini, satu tim peneliti internasional yang dipimpin oleh Christiano menemukan bahwa gen-gen imun yang dibawa oleh para pasien alopecia areata hampir identik dengan yang dibawa oleh pasien-pasien yang menderita artrisis reumatoid, diabetes tipe 1 dan penyakit celiac. Penelitian tersebut dipublikasikan pada edisi 1 Juli Nature.
Christiano yang merupakan profesor the Richard and Mildred Rhodebeck kini berharap bahwa obat-obatan yang dipakai untuk merawat penyakit tersebut khususnya artritis reumatoid mungkin juga dipakai untuk merawat alopecia areata. Tim tersebut berharap memulai uji klinis tahun depan.
Tidak ibarat teladan kebotakan pria, alopecia areata mempunyai serangan tiba-tiba dan seringkali ditandai dengan kerontokan rambut seluruh badan termasuk alis mata, bulu mata dan kaki. (Kata "alopecia" berasal dari kata dalam bahasa Yunani "fox" yaitu binatang yang rambutnya selalu rontok). Penyakit ini diklasifikasikan sebagai gangguan otoimun yang berarti disebabkan ketika imun atau kekebalan badan menyerang organ-organnya sendiri, dalam kasus ini folikel-folikel rambut.
Para peneliti menemukan bahwa satu gen yang disebut ULBP3 berfungsi sebagai lentera rumah bagi sel-sel imun pembunuh. ULBP3 tidak aktif pada folikel rambut normal tapi aktif pada folikel alopecia areata. Dalam keadaan aktif, ULBP3 menarik sel-sel imun pembunuh dengan reseptor yang disebut NKG2D yang memicu serangan otoimun.
Christiano dan rekannya Raphael Clynes yang merupakan tangan kanan profesor kedokteran dan mikrobiologi di sentra medis tersebut kini sedang mencoba menemukan cara untuk memoderasi respon tersebut.
"Hal yang gampang dilakukan yakni memblokir reseptor NKG2D dengan obat-obatan antibodi tertentu yang sedang dikembangkan," kata Clynes. "Taktik lainnya yakni memakai reseptor larut yang memblokir interaksi antara sel-sel pembunuh dan sinyal dari ULBP3 yang mengisyaratkan untuk dibunuh."
Sebagai embel-embel pada duduk kasus kerontokan rambut, Christiano mempelajari hipertrikosis atau pertumbuhan rambut yang berlebihan. Dia mengambil Ph.D-nya dalam bidang genetika di Universitas Rutgers dan dulunya merupakan mahasiswi pos-doktoral dalam bidang dermatologi di Pusat Medis Jefferson di Philadelphia kawasan ia melaksanakan penelitian pada epidermolisis bulosa yang merupakan gangguan blister atau lepuh yang berpotensi fatal.
Kerontokan rambut ada di antara penyakit kulit yang sangat merusak secara emosional sebagaimana dampaknya pada kualitas kehidupan, kata Christiano. Dia menyampaikan untuk ketika ini ada cita-cita bagi para pasien alopecia lantaran penyakit tersebut mempunyai penyebab genetik yang berarti bahwa penyembuhan mungkin sedang dalam perjalanan.
Sekarang Christiano mempunyai rambut hitam bergelombang utuh di kepala. Setelah dua tahun perawatan dengan steroid, kondisinya terbalik dengan sendirinya. Namun ia masih secara emosional terhubung dengan penyakit tersebut.
Dia baru-baru saja berbicara di konfrensi pasien Yayasan Nasional Alopecia di Indianapolis. Setelah memperlihatkan ceramah ke beberapa ratus pasien alopecia, banyak orang menitikkan air mata, begitu juga dengan dia.
"Mereka balasannya dapat membicarakan wacana gen," katanya. "Mereka merasa dikuatkan."
Kategori Terkait:
Informasi Terkait:
Pada tahun 1996, rambut Ibu Christiano tiba-tiba mulai rontok yang mengakibatkan kulit kepalanya terlihat ibarat tambalan-tambalan kebotakan. Kondisi tersebut didiagnosa sebagai alopecia areata yang menyerang sekitar 2 persen populasi keseluruhan termasuk lebih dari 5,3 juta orang di Amerika Serikat.
Karena ia bergumul dengan penyakit tersebut, Ibu Christiano yang tergabung dalam pecahan Dermatologi serta Pengembangan dan Genetika di Pusat Medis Universitas Columbia tetapkan untuk mempelajari kerontokan rambut.
"Saya melihat literaturnya dan menyadari betapa sedikit yang diketahui wacana gen yang mengontrol pertumbuhan rambut," katanya. "Saya tak percaya bahwa penyakit saya ini sangat tidak diketahui."
Awal tahun ini, satu tim peneliti internasional yang dipimpin oleh Christiano menemukan bahwa gen-gen imun yang dibawa oleh para pasien alopecia areata hampir identik dengan yang dibawa oleh pasien-pasien yang menderita artrisis reumatoid, diabetes tipe 1 dan penyakit celiac. Penelitian tersebut dipublikasikan pada edisi 1 Juli Nature.
Christiano yang merupakan profesor the Richard and Mildred Rhodebeck kini berharap bahwa obat-obatan yang dipakai untuk merawat penyakit tersebut khususnya artritis reumatoid mungkin juga dipakai untuk merawat alopecia areata. Tim tersebut berharap memulai uji klinis tahun depan.
Tidak ibarat teladan kebotakan pria, alopecia areata mempunyai serangan tiba-tiba dan seringkali ditandai dengan kerontokan rambut seluruh badan termasuk alis mata, bulu mata dan kaki. (Kata "alopecia" berasal dari kata dalam bahasa Yunani "fox" yaitu binatang yang rambutnya selalu rontok). Penyakit ini diklasifikasikan sebagai gangguan otoimun yang berarti disebabkan ketika imun atau kekebalan badan menyerang organ-organnya sendiri, dalam kasus ini folikel-folikel rambut.
Para peneliti menemukan bahwa satu gen yang disebut ULBP3 berfungsi sebagai lentera rumah bagi sel-sel imun pembunuh. ULBP3 tidak aktif pada folikel rambut normal tapi aktif pada folikel alopecia areata. Dalam keadaan aktif, ULBP3 menarik sel-sel imun pembunuh dengan reseptor yang disebut NKG2D yang memicu serangan otoimun.
Christiano dan rekannya Raphael Clynes yang merupakan tangan kanan profesor kedokteran dan mikrobiologi di sentra medis tersebut kini sedang mencoba menemukan cara untuk memoderasi respon tersebut.
"Hal yang gampang dilakukan yakni memblokir reseptor NKG2D dengan obat-obatan antibodi tertentu yang sedang dikembangkan," kata Clynes. "Taktik lainnya yakni memakai reseptor larut yang memblokir interaksi antara sel-sel pembunuh dan sinyal dari ULBP3 yang mengisyaratkan untuk dibunuh."
Sebagai embel-embel pada duduk kasus kerontokan rambut, Christiano mempelajari hipertrikosis atau pertumbuhan rambut yang berlebihan. Dia mengambil Ph.D-nya dalam bidang genetika di Universitas Rutgers dan dulunya merupakan mahasiswi pos-doktoral dalam bidang dermatologi di Pusat Medis Jefferson di Philadelphia kawasan ia melaksanakan penelitian pada epidermolisis bulosa yang merupakan gangguan blister atau lepuh yang berpotensi fatal.
Kerontokan rambut ada di antara penyakit kulit yang sangat merusak secara emosional sebagaimana dampaknya pada kualitas kehidupan, kata Christiano. Dia menyampaikan untuk ketika ini ada cita-cita bagi para pasien alopecia lantaran penyakit tersebut mempunyai penyebab genetik yang berarti bahwa penyembuhan mungkin sedang dalam perjalanan.
Sekarang Christiano mempunyai rambut hitam bergelombang utuh di kepala. Setelah dua tahun perawatan dengan steroid, kondisinya terbalik dengan sendirinya. Namun ia masih secara emosional terhubung dengan penyakit tersebut.
Dia baru-baru saja berbicara di konfrensi pasien Yayasan Nasional Alopecia di Indianapolis. Setelah memperlihatkan ceramah ke beberapa ratus pasien alopecia, banyak orang menitikkan air mata, begitu juga dengan dia.
"Mereka balasannya dapat membicarakan wacana gen," katanya. "Mereka merasa dikuatkan."
Kategori Terkait:
Informasi Terkait:
0 Response to "Basis Genetik Kerontokan Rambut"
Post a Comment